DINAMIKAPOS.COM, OPINI – Wacana menghidupkan kembali Ujian Nasional (UN) di Indonesia telah memicu perdebatan sengit di kalangan pemerhati pendidikan. Meski beberapa pihak mengaitkan penurunan kualitas pendidikan dengan dihapuskannya UN pada tahun 2021, argumentasi ini terlalu menyederhanakan permasalahan yang jauh lebih kompleks dalam sistem pendidikan nasional. Tantangan sebenarnya jauh lebih dalam dan sistemik daripada sekadar ada atau tidaknya ujian akhir yang seragam.

Potret buram pendidikan Indonesia terlihat dari dominasi metode pembelajaran yang masih berkutat pada paradigma lama. Mayoritas ruang kelas masih didominasi metode hafalan sebagai basis pembelajaran, dengan sebagian besar soal ujian yang hanya mengukur kemampuan mengingat. Ironis, hanya segelintir guru yang menerapkan pembelajaran berbasis pemecahan masalah. Kondisi ini menciptakan kesenjangan dramatis dengan tuntutan masa depan, mengingat World Economic Forum memproyeksikan bahwa 65% siswa sekolah dasar saat ini akan bekerja dalam profesi yang bahkan belum ada.

Di tengah ketertinggalan metode pembelajaran ini, tantangan dari era digital semakin menggurita. Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat penggunaan media sosial tertinggi di dunia menurut We Are Social dan Hootsuite, dengan rata-rata waktu penggunaan mencapai 6-7 jam per hari. Platform seperti TikTok dan YouTube Shorts tidak hanya mengubah pola belajar, tetapi juga secara signifikan mempengaruhi kemampuan fokus, pemahaman konteks, dan abstraksi siswa.

Situasi ini diperburuk oleh disparitas yang menganga dalam fasilitas pendidikan. Data Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah menggambarkan kontras tajam: sementara sekolah-sekolah di Jakarta menikmati fasilitas lengkap, banyak sekolah di Papua masih berjuang menjalankan praktikum tanpa peralatan memadai. Dalam realitas ketimpangan ini, gagasan menghidupkan kembali UN justru terasa seperti menabur garam di atas luka – sebuah kebijakan yang berpotensi memperdalam ketidakadilan sistemik.

Fakta pahit ini terkonfirmasi dalam laporan PISA yang menunjukkan tren penurunan konsisten dalam performa siswa Indonesia, baik pada era UN maupun setelahnya. Multiple Intelligence Theory yang digagas Howard Gardner sejak lama telah mengingatkan pentingnya mengakui keragaman kecerdasan – sebuah prinsip yang bertolak belakang dengan sistem penilaian UN yang kaku dan monolitik.

Pandemi Covid-19 semakin memperburuk krisis ini. Bank Dunia memperkirakan telah terjadi learning loss setara 1.5 tahun pembelajaran, dengan potensi kerugian ekonomi mencapai US$253 miliar dalam 20 tahun ke depan jika tidak segera ditangani. Angka ini bukan sekadar statistik – ini adalah alarm yang memekakkan tentang masa depan sebuah generasi.

Data Kementerian Pendidikan semakin menegaskan betapa mendesaknya situasi ini, dengan kesenjangan infrastruktur pendidikan antar daerah yang masih menganga lebar. Menghidupkan kembali UN tanpa melakukan reformasi fundamental hanya akan menjadi pengulangan sejarah yang sia-sia. Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar ujian standar – yang diperlukan adalah transformasi menyeluruh sistem pendidikan yang mampu menjawab tantangan era digital sembari mengatasi kesenjangan dan ketidakadilan yang mengakar.

Permasalahan pendidikan Indonesia bukan tentang ada atau tidaknya UN, melainkan tentang bagaimana membangun sistem pendidikan yang adil, adaptif, dan mampu mempersiapkan generasi muda menghadapi masa depan yang semakin tidak pasti. Tanpa perubahan fundamental dalam metode pembelajaran, pemerataan fasilitas, dan pengembangan kompetensi guru, kebijakan apapun – termasuk menghidupkan kembali UN – hanya akan menjadi solusi superfisial bagi masalah yangjauh lebih dalam.

 

 

***

 

*) Ditulis oleh Muttaqin Kholis Ali, Guru Informatika SMAN 1 Tambangan, Mandailing Natal, Sumatera Utara.

*) Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab Dinamika Pos.

*) Rubrik opini di Dinamika Pos terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.

*) Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.