DINAMIKAPOS.COM, OPINI – Ketahanan pangan di Indonesia merupakan isu yang memiliki dimensi sosial yang sangat rumit, dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan masyarakat, akses terhadap sumber daya, serta pola konsumsi. Ketahanan pangan tidak hanya tentang jumlah pangan yang tersedia, tetapi juga distribusinya yang adil dan akses yang merata bagi seluruh kelompok masyarakat. Sayangnya, ketimpangan ekonomi yang signifikan menciptakan kesenjangan besar antara mereka yang mudah mendapatkan pangan berkualitas dan mereka yang rentan mengalami kelangkaan pangan.
Masyarakat dengan ekonomi kuat cenderung lebih mudah membeli pangan berkualitas tinggi, baik dari segi gizi maupun keragamannya. Mereka juga memiliki akses ke fasilitas distribusi pangan modern, seperti supermarket atau restoran, yang menawarkan pilihan pangan lebih sehat dan beragam. Sebaliknya, kelompok ekonomi bawah sering kali harus bergantung pada pangan murah yang kualitas gizinya rendah. Masalah ini diperparah dengan kurangnya informasi dan edukasi terkait pola makan sehat, sehingga mereka sering tidak menyadari dampak jangka panjang dari konsumsi pangan berkualitas rendah.
Kondisi ini semakin sulit dihadapi di daerah pedesaan yang memiliki keterbatasan infrastruktur. Banyak wilayah terpencil sulit dijangkau oleh sistem distribusi pangan, menyebabkan harga pangan di sana lebih mahal dibandingkan wilayah perkotaan. Di sisi lain, meskipun akses pangan di perkotaan lebih mudah, masyarakat menengah ke bawah tetap menghadapi tantangan berupa tingginya harga pangan yang tidak sebanding dengan pendapatan mereka. Ketergantungan yang besar terhadap impor pangan semakin memperburuk situasi ini. Ketergantungan tersebut membuat harga pangan dalam negeri sangat sensitif terhadap fluktuasi pasar global, seperti perubahan nilai tukar mata uang dan gangguan rantai pasok internasional, yang pada akhirnya menekan daya beli masyarakat.
Selain itu, impor pangan yang mendominasi pasar domestik turut menyulitkan petani lokal untuk bersaing. Produk impor yang sering kali lebih murah karena subsidi dari negara asalnya membuat hasil pertanian lokal kehilangan daya saing. Petani Indonesia, yang sudah dihadapkan pada tingginya biaya produksi dan minimnya teknologi, semakin kesulitan untuk bertahan. Hal ini tidak hanya memengaruhi pendapatan petani, tetapi juga mengancam keberlanjutan sektor pertanian lokal yang seharusnya menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional.
Gaya hidup modern juga berkontribusi terhadap melemahnya sistem pangan lokal. Tren konsumsi makanan cepat saji yang semakin populer di masyarakat urban membawa dampak negatif, tidak hanya bagi kesehatan masyarakat tetapi juga bagi keberlanjutan sistem pangan lokal. Makanan cepat saji dipilih karena kemudahannya, meskipun sering kali memiliki nilai gizi yang rendah. Akibatnya, potensi pangan lokal yang kaya dan beragam, seperti ubi, singkong, jagung, serta sayuran dan buah lokal, semakin terabaikan. Kurangnya promosi dan dukungan terhadap pangan lokal memperparah kondisi ini, membuat masyarakat lebih memilih pangan impor atau olahan.
Situasi ini juga berdampak langsung pada petani kecil. Ketika permintaan terhadap produk lokal menurun, mereka semakin sulit untuk mempertahankan mata pencaharian mereka. Petani harus menghadapi harga yang tidak stabil dan persaingan dengan produk impor yang lebih murah, meskipun sering kali tidak ramah lingkungan dan kurang berkelanjutan. Padahal, dengan pengelolaan yang lebih baik, potensi agrikultur lokal yang melimpah dapat menjadi basis yang kuat untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Oleh sebab itu, penguatan ketahanan pangan di Indonesia membutuhkan strategi yang holistik. Diperlukan kebijakan yang mendukung petani lokal, perbaikan infrastruktur distribusi pangan, peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pangan berkualitas, serta edukasi tentang pentingnya konsumsi pangan sehat dan lokal. Pendekatan ini diharapkan dapat menciptakan ketahanan pangan yang lebih merata, berkeadilan, dan berkelanjutan untuk masa depan Indonesia.
***
*) Opini ditulis oleh Naomi Rebecca Siagian, Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
*) Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab Dinamika Pos.
*) Rubrik opini di Dinamika Pos terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
*) Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.