DINAMIKAPOS.COM, OPINI – Konflik pertanahan di sektor perkebunan kelapa sawit telah menjadi permasalahan yang kompleks dan berkelanjutan di Indonesia, khususnya di wilayah Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Dalam penyelesaian perselisihan ini, pendekatan hukum positif seringkali menjadi landasan utama bagi para penegak hukum dan pemangku kebijakan. Hal serupa dikemukakan oleh Ali (2015) dalam bukunya Menguak Tabir Hukum, hukum positif merupakan hukum yang berlaku saat ini di suatu negara, yang keberadaan dan pemberlakuannya ditetapkan oleh penguasa.
Pendekatan ini tekanan pada aspek formal dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa. Dalam konteks pelestarian tanah kelapa sawit di Kotawaringin Timur, penerapan teori hukum positif diterapkan dalam berbagai instrumen hukum yang digunakan. Menurut Harsono (2018) dalam Hukum Agraria Indonesia, sistem hukum pertanahan nasional yang dibangun berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 seharusnya mampu mengakomodasi berbagai kepentingan dalam pengelolaan tanah. Namun kenyataannya, penerapan hukum positif seringkali berbenturan dengan kompleksitas sosial-budaya masyarakat setempat.
Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi menurut Sumardjono (2020), mengidentifikasi bahwa permasalahan utama dalam menjaga tanah perkebunan sawit di Kotawaringin Timur meliputi tumpang tindih klaim kepemilikan, ketidakjelasan batas wilayah dan antara hukum adat dengan hukum positif. Situasi ini diperparah dengan adanya ketimpangan akses terhadap sumber daya hukum antara masyarakat lokal dan perusahaan perkebunan besar.
Pendekatan positivisme hukum dalam penyelesaian penyelesaian di wilayah ini mengutamakan dokumen-dokumen legal formal seperti sertifikat tanah, izin usaha perkebunan, dan peta kadastral. Kusumaatmadja (2019) melalui Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan menegaskan bahwa kepastian hukum memang penting, namun tidak boleh mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
Hal ini sejalan dengan kritik Rahardjo (2017), yang menyatakan bahwa hukum seharusnya tidak hanya dipahami sebagai kumpulan peraturan yang kaku, tetapi juga harus mempertimbangkan dimensi sosial dan keadilan substantif. Dalam praktiknya, penyelesaian melalui pendekatan positivisme hukum di Kotawaringin Timur menghadapi berbagai tantangan, seperti pendekatan legalistik formal seringkali gagal mengakomodasi hak-hak masyarakat adat dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal ini menimbulkan resistensi dan konflik berkelanjutan dalam masyarakat.
Untuk mengatasi keterbatasan pendekatan positivisme hukum, beberapa akademisi dan praktisi hukum penegakan pendekatan yang lebih komprehensif. Irianto (2020), dalam Pluralisme Hukum dalam Penyelesaian Sengketa merekomendasikan pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai hukum adat dan kearifan lokal dalam sistem penyelesaian penyelamatan. Pendekatan ini dapat dilakukan melalui penguatan mekanisme mediasi berbasis komunitas dan reformasi yang mengakomodasi pluralisme hukum.
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan teori hukum positivisme dalam penyelesaian penyelamatan tanah perkebunan kelapa sawit di Kotawaringin Timur memerlukan penyesuaian dan pengembangan. Diperlukan pendekatan yang lebih holistik yang tidak hanya mengedepankan aspek formal dan kepastian hukum, tetapi juga mempertimbangkan keadilan substantif dan harmonisasi dengan nilai-nilai lokal.
***
*) Opini Ditulis oleh Susi Darkoni, Asisten Humas PT. Agro Wana Lestari.
*) Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab Dinamika Pos.
*) Rubrik opini di Dinamika Pos terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
*) Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.