DINAMIKA POS, OPINI – Tri Hita Karana, sebuah filosofi tradisional Bali, mengajarkan pentingnya harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Filosofi ini tidak hanya menjadi panduan hidup masyarakat Bali tetapi juga berpotensi diterapkan dalam berbagai sektor, termasuk akuntansi hijau. Dalam konteks ekonomi dan pariwisata Bali, integrasi antara Tri Hita Karana dan akuntansi hijau dapat menjadi langkah strategis untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.

Memahami Tri Hita Karana

Tri Hita Karana secara harfiah berarti “tiga penyebab kesejahteraan.” Filosofi ini menekankan pentingnya hubungan yang seimbang dalam tiga aspek utama:

1. Parhyangan (Hubungan Manusia dengan Tuhan): Menekankan pentingnya penghormatan terhadap lingkungan sebagai manifestasi ciptaan Tuhan.

2. Pawongan (Hubungan Antar Manusia): Mengedepankan nilai-nilai kerja sama dan keadilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

3. Palemahan (Hubungan Manusia dengan Lingkungan): Menekankan tanggung jawab manusia dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan hidup.

Ketiga prinsip ini mendorong masyarakat untuk menjalani kehidupan yang seimbang, baik secara spiritual, sosial, maupun ekologis.

Akuntansi Hijau: Konsep dan Pentingnya

Akuntansi hijau merupakan pendekatan akuntansi yang mempertimbangkan dampak lingkungan dalam laporan keuangan dan pengambilan keputusan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa biaya lingkungan dari aktivitas bisnis tercermin secara transparan. Dalam konteks Bali, yang sangat bergantung pada pariwisata, akuntansi hijau dapat menjadi alat penting untuk mengelola dampak ekologis sekaligus mempromosikan keberlanjutan.

Integrasi Tri Hita Karana dalam Akuntansi Hijau

Mengintegrasikan Tri Hita Karana ke dalam akuntansi hijau dapat menciptakan pendekatan yang lebih holistik. Berikut adalah bagaimana setiap elemen Tri Hita Karana dapat mendukung praktik ini:

1. Parhyangan (Spiritual):

Mendorong praktik bisnis yang etis dan bertanggung jawab.

Mengintegrasikan inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang mendukung pelestarian budaya dan lingkungan lokal.

2. Pawongan (Sosial):

Membina hubungan yang baik antara perusahaan, masyarakat lokal, dan pemerintah.

Mengedepankan transparansi, keadilan, dan partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga keberlanjutan lingkungan.

3. Palemahan (Lingkungan):

Memastikan praktik bisnis yang ramah lingkungan, seperti pengelolaan limbah dan pelestarian keanekaragaman hayati.

Mendukung pariwisata berkelanjutan dengan mengurangi jejak ekologis operasional bisnis.

Tantangan dan Strategi Solusi

Meskipun menawarkan banyak manfaat, penerapan akuntansi hijau berbasis Tri Hita Karana menghadapi beberapa tantangan:

Kurangnya Kesadaran: Banyak bisnis di Bali belum memahami pentingnya akuntansi hijau dan integrasinya dengan Tri Hita Karana.

Keterbatasan Sumber Daya: Perusahaan kecil sering kali kekurangan dana dan keahlian untuk menerapkan sistem akuntansi hijau.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah strategis seperti:

1. Pendidikan dan Pelatihan: Program pelatihan tentang akuntansi hijau dan penerapan Tri Hita Karana bagi pelaku bisnis.

2. Kolaborasi: Kemitraan antara pemerintah, bisnis, dan LSM untuk berbagi sumber daya dan praktik terbaik.

3. Sertifikasi Hijau: Pemberian sertifikasi bagi bisnis yang berhasil mengadopsi akuntansi hijau berbasis Tri Hita Karana, yang dapat meningkatkan daya saing mereka.

Kesimpulan

Tri Hita Karana menawarkan pendekatan yang unik dan relevan untuk mendukung penerapan akuntansi hijau di Bali. Dengan mengintegrasikan filosofi ini, bisnis dapat berkontribusi pada pembangunan yang tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan dan budaya. Melalui langkah ini, Bali dapat menjadi contoh global dalam menciptakan harmoni antara manusia, lingkungan, dan spiritualitas dalam dunia bisnis.

 

***

Opini Ditulis oleh Desak Putu Arde Suari, Mahasiswa S2 Akuntansi, Universitas Pendidikan Ganesha