DINAMIKAPOS.COM, Opini – Dalam beberapa tahun terakhir, produk palsu semakin marak beredar di pasar Indonesia, khususnya di platform e-commerce. Salah satu yang menjadi sorotan adalah produk tiruan dari Hotto, yang kerap dijual dengan harga jauh lebih rendah dibandingkan dengan produk asli. Fenomena ini menciptakan persaingan yang tidak sehat, merugikan merek asli, dan berisiko membahayakan konsumen yang kurang teliti dalam memilih produk. Untuk itu, penting untuk melihat tren produk, kompetisi, serta perlindungan konsumen di era digital ini, serta langkah-langkah yang perlu diambil oleh semua pihak.

Konsumenisme: Faktor Pendorong Belanja Online

Konsumenisme, yaitu dorongan masyarakat untuk membeli produk sesuai tren atau merek terkenal, kian terasa dalam pola belanja masyarakat Indonesia. Fenomena ini diperburuk oleh tingginya aksesibilitas platform e-commerce dan media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Facebook. Menurut laporan Kementerian Perdagangan (2024), nilai pasar e-commerce di Indonesia pada 2023 mencapai USD 63 miliar, dengan 59% pengguna internet gemar berbelanja online (We Are Social, 2024). Hal ini menciptakan peluang besar bagi penjual produk palsu yang memanfaatkan keserakahan konsumen terhadap harga murah tanpa memperhatikan kualitas.

Konsumen yang tergiur dengan harga murah sering kali tidak menyadari bahwa mereka membeli produk palsu. Tanpa pemahaman yang memadai tentang perbedaan antara produk asli dan tiruan, banyak dari mereka terjebak dalam fenomena produk palsu ini. Oleh karena itu, penting untuk mengedukasi konsumen agar lebih selektif dan kritis dalam melakukan pembelian, serta mengenali ciri khas produk asli yang aman untuk dikonsumsi.

Tren Produk: Pengaruh Media Sosial dan Kebutuhan Gaya Hidup

Tren produk, terutama di sektor makanan dan gaya hidup, berkembang pesat melalui pengaruh media sosial. Hotto, yang menawarkan produk makanan multigrain, misalnya, menjadi sangat populer di Indonesia. Kenaikan pesat permintaan akan makanan cepat saji yang sehat ini tercatat dalam laporan AcuityHub (2023) yang menyebutkan bahwa 69,9% masyarakat Indonesia lebih memilih fast food, terutama yang menawarkan kemudahan dan cita rasa unik. Di sisi lain, produk tiruan seringkali memanfaatkan tren ini untuk memasuki pasar, menawarkan harga yang lebih rendah namun dengan kualitas yang jauh dari standar.

Persaingan semakin ketat ketika produk tiruan juga berusaha memanfaatkan popularitas merek seperti Hotto, yang tentu saja dapat merugikan reputasi merek asli. Dalam hal ini, konsumen yang tidak memeriksa kualitas dengan seksama dapat terjebak membeli produk yang tidak aman atau tidak sesuai dengan deskripsi yang dijanjikan.

Kompetisi Produk: Tantangan dari Produk Tiruan

Kompetisi di pasar e-commerce semakin kompleks dengan hadirnya produk palsu yang menjual dengan harga lebih murah. Laporan Kontan (2021) menyebutkan bahwa Indonesia mengalami kerugian hingga Rp 291 triliun akibat peredaran produk palsu pada tahun 2020. Kerugian ini berasal dari konsumen yang membeli produk palsu, tanpa menyadari bahwa mereka berisiko terhadap keselamatan atau pengalaman buruk. Kompetisi ini tidak hanya mengancam penjualan produk asli, tetapi juga merusak ekosistem bisnis yang sehat.

Bagi merek seperti Hotto, persaingan dengan produk tiruan tentu menjadi tantangan tersendiri. Agar tetap bertahan, merek harus mampu mempertahankan kualitas produk dan menciptakan pengalaman positif bagi konsumen. Kepercayaan konsumen menjadi hal yang sangat berharga dalam mempertahankan loyalitas.

Perlindungan Konsumen: Regulasi dan Sertifikasi Keamanan

Perlindungan terhadap konsumen semakin menjadi sorotan dalam menghadapi maraknya produk palsu. Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah meningkatkan pengawasan terhadap produk-produk yang beredar di pasar, terutama produk yang berkaitan dengan kesehatan dan makanan. Selain itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 memberikan hak bagi konsumen untuk memperoleh produk yang aman dan sesuai dengan deskripsi (Izazi et al., 2024). Hal ini merupakan langkah penting dalam memastikan bahwa konsumen terlindungi dari bahaya produk palsu.

Platform e-commerce seperti Shopee dan Tokopedia juga berupaya memerangi peredaran produk palsu dengan menggunakan teknologi pemindaian otomatis dan tim audit yang bekerja untuk mendeteksi produk yang mencurigakan. Selain itu, lembaga seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berperan penting dalam membantu konsumen mengajukan keluhan mengenai produk palsu yang mereka beli.

Kesimpulan: Membangun Kepercayaan Konsumen

Fenomena produk palsu, khususnya yang beredar di pasar digital, mengharuskan semua pihak untuk lebih proaktif dalam menghadapi tantangan ini. Konsumen perlu lebih sadar akan pentingnya membeli produk asli yang aman dan terjamin kualitasnya. Merek seperti Hotto harus terus beradaptasi dengan perubahan tren dan perilaku konsumen yang semakin bergantung pada media sosial. Dalam era digital ini, transparansi produk, sertifikasi keamanan, dan penguatan hubungan dengan konsumen menjadi kunci untuk mempertahankan loyalitas dan kepercayaan mereka.

 

Penting bagi pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk bersama-sama mengatasi masalah ini, baik dengan regulasi yang lebih ketat, edukasi kepada konsumen, maupun pengawasan yang lebih ketat terhadap peredaran produk palsu. Hanya dengan kerja sama yang solid, kita dapat menciptakan pasar yang lebih sehat dan aman bagi konsumen Indonesia.

 

 

***

Opini Ditulis oleh Heinrich Robert Teguh, Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Ciputra Surabaya.