DINAMIKAPOS.COM, Opini – Menuju pertengahan Desember 2024 lalu, di berbagai media dikabarkan adanya rencana pemberian amnesti untuk ±44.000 narapidana tertentu dengan pertimbangan rasa kemanusiaan, sebagai upaya untuk mengatasi kelebihan kapasitas penghuni lapas dan rekonsiliasi. Adapun rencana pemberian amnesti ini akan menyasar para narapidana yang terjerat UU ITE terkait penghinaan kepada Presiden, narkotika 1 gram ke bawah (non-pengedar dan bandar), tahanan politik, dan narapidana yang sakit berkepanjangan. Lebih lanjut, perluasan dari cakupan ini pun nantinya diusulkan untuk mencakup narapidana dari tindak pidana korupsi dengan pertimbangan dilakukannya pengembalian kerugian negara. Rencana pemberian amnesti ini pun dikabarkan ingin dilakukan setiap tahunnya dengan catatan pemberiannya harus sangat selektif.

Pada 27 Desember 2024, dalam konferensi pers yang diliput berbagai media, Supratman Andi Agtas selaku Menteri Hukum di Gedung Kementerian Hukum kembali menegaskan beberapa kriteria penerima amnesti ini, yang dari jumlah perkiraan 44.000 narapidana, tidak ada koruptor di dalamnya. Tentu langkah seperti ini sangat baik dan setidaknya bisa meredam kecurigaan yang timbul dari rencana ini, seperti penyalahgunaan pemberian amnesti, bagaimana perilaku mereka nantinya di tengah-tengah masyarakat ketika sudah kembali, dan sebagainya. Selain itu, mengingat jumlah narapidana yang akan menerima amnesti ini sangat banyak dan direncanakan setiap tahunnya, tentu saja kita akan bertanya apakah harus dilakukan setiap tahunnya? Dan kita pun harus kembali pada pertanyaan, “Sejauh mana kewenangan Presiden dalam pemberian Amnesti?”

Pemberian amnesti bukanlah hal yang baru dilakukan di Indonesia. Berkaca pada pemberian amnesti sebelumnya, setidaknya kita bisa melihat peruntukan dari amnesti itu diberikan. Semisal dalam Keputusan Presiden Nomor 303 tahun 1959 yang memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan D.I./T.I.I. Keputusan lain tentang pemberian amnesti ini juga bisa ditemukan dalam Keputusan Presiden Nomor 63 tahun 1977 yang memberi amnesti secara umum dan abolisi kepada para pengikut gerakan Fretilin di Timor Timur, baik berada di dalam negeri maupun di luar negeri.

Sebenarnya tidak hanya itu, di tahun-tahun setelah ini pun amnesti tetap diberikan di periode masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, salah satunya diberikan melalui Keputusan Presiden Nomor 159 Tahun 1999 kepada tahanan politik aktivis pro-demokrasi yang bertepatan dengan peringatan Hari HAM Internasional pada 10 Desember 1999. Masih ada beberapa lagi amnesti yang pernah diberikan di Indonesia. Melihat beberapa pemberian amnesti yang telah ada, setidaknya sedikit menggambarkan bagaimana amnesti itu diberikan, dan tentunya bisa dilihat itu bukan dijadikan sebagai agenda tahunan yang wajib dilakukan.

Meski demikian, bukan berarti hal itu tidak dapat diberikan setiap tahunnya sebab tak ada ketentuan perundang-undangan yang melarang hal tersebut. Akan tetapi, pemberiannya diharapkan proporsional dan memang sebagai solusi atas permasalahan yang ada, baik itu atas pertimbangan rasa kemanusiaan, demokrasi, ataupun pertimbangan lainnya yang merupakan isi dari hak prerogatif itu sendiri, yang tentunya tetap harus menunjukkan urgensinya.

Secara atributif, kewenangan pemberian amnesti ini dimiliki oleh Presiden yang dapat ditemukan dalam Pasal 14 ayat 2 UUD NRI 1945: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Merujuk pada pasal ini, kita bisa melihat adanya keterlibatan DPR dalam proses pemberian amnesti sebagai wujud dari penerapan sistem check and balance. Sayangnya, kembali pada letak kewenangan itu berada/diberikan, posisi dari pertimbangan DPR ini akan menjadi penentu atau hanya sebatas pertimbangan biasa yang bisa didengar atau tidak.

Melihat belum adanya ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme yang jelas atas pemberian amnesti ini, bisa mengakibatkan adanya penafsiran yang tidak terukur baik yang bisa muncul dari berbagai kalangan. Ketentuan lain yang menyangkut amnesti ini juga dapat ditemukan dalam UU Darurat No. 14 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, terkhusus pada Pasal 4: “Dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang termaksud dalam Pasal 1 dan 2 dihapuskan. Dengan pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang yang termaksud dalam Pasal 1 dan 2 ditiadakan.”

Jadi, secara sederhana, amnesti diartikan sebagai kewenangan yang dimiliki oleh Presiden untuk menghapus sifat pidana yang melekat atas perbuatan seseorang atau kelompok orang yang mengakibatkan mereka yang mendapatkan amnesti ini akan dipandang tidak pernah melakukan suatu perbuatan pidana. Oleh karena ini adalah penghapusan sifat pidana atas perbuatan seseorang, maka sewajarnya ini haruslah dilakukan dengan sangat hati-hati dan selektif dalam pemberiannya.

Mengingat dibutuhkannya kehadiran DPR memberikan pertimbangan, meskipun diisi oleh mereka yang berasal dari berbagai partai politik, bagaimana pertimbangan itu dibuat dan isinya seperti apa masih bisa dikhawatirkan berpotensi bermuatan politis sehingga dikhawatirkan adanya persekongkolan meskipun tidak tampak di permukaan. Namun, itu hanyalah sebatas kemungkinan belaka. Kita harus tetap optimis bahwa pertimbangan DPR itu akan memberikan pertimbangan yang bukan atas kepentingan-kepentingan partai mereka melainkan kepentingan rakyat yang mereka wakilkan, dan tentunya untuk Indonesia yang lebih baik ke depannya.

Pemberian amnesti memanglah niatan yang baik, namun itu tak akan bisa menjadikannya kebal dari berbagai kecurigaan yang bisa ditimbulkannya. Sebagai upaya untuk meminimalisir kemungkinan negatif yang bisa terjadi ke depannya, pemberian amnesti ini haruslah dengan sangat selektif, terutama agar perbuatan yang sama tidak terulang atau perbuatan lainnya tidak terjadi saat mereka yang mendapatkan amnesti itu kembali hadir di tengah-tengah masyarakat.

Belum lagi menyangkut tentang aspek kemanusiaan dan keadilan yang dijadikan pertimbangan dalam pemberiannya itu. Selain posisi narapidana yang dituju, kedudukan para korban dan keluarganya pun harus dipertimbangkan sebab keadilan itu berhak dimiliki setiap individu, tanpa terkecuali korban, pelaku, maupun masyarakat luas, tempat para penerima amnesti ini akan kembali.

Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal ini, sebagai representasi rakyat dalam cabang-cabang kekuasaan negara, sangat diharapkan bisa memberikan pertimbangan yang mendalam, terutama mengenai rasa keadilan itu. Sebab bagaimanapun, amnesti ini akan menghapus sifat pidana sehingga mereka yang mendapatkannya ini nantinya dipandang tidak pernah melakukan perbuatan pidana.

Pada akhirnya, selain DPR melalui pertimbangannya, kualitas seorang Presiden juga akan diuji dan diukur melalui pemberian amnesti ini. Sebab di sanalah letak kewenangan ini berada, yang semua ini akan menentukan apakah pemberian amnesti itu dapat mengatasi permasalahan yang menjadi pertimbangan pemberian amnesti atau tidak, sehingga akan dapat terlihat apakah amnesti ini sebagai solusi ataukah sebatas ilusi belaka!

 

***

 

*) Opini Ditulis Oleh Muhammad Sofyan Jalal, Dosen Ilmu Hukum Universitas Sulawesi Barat.

*) Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab Dinamika Pos.

*) Rubrik opini di Dinamika Pos terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.

*) Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.