Opini – Publik hukum Indonesia dikejutkan dengan keputusan Ketua Pengadilan Tinggi Ambon dan Banten yang membekukan Berita Acara Sumpah (BAS) dua advokat, Razman Arif Nasution dan Firdaus Oiwobo. Saya disini bukan untuk membela 2 orang tersebut, apalagi mendukung mereka. Namun langkah pembekuan BAS ini memicu perdebatan, terutama mengenai dasar hukum tindakan tersebut dan dampaknya terhadap independensi profesi advokat.
Apakah Ketua Pengadilan Tinggi Berwenang Membekukan BAS?
Secara normatif, Berita Acara Sumpah (BAS) merupakan dokumen administratif yang mencatat peristiwa hukum berupa pengucapan sumpah advokat di hadapan Ketua Pengadilan Tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). BAS bukanlah Surat Keputusan (SK) atau dokumen yang menetapkan status keanggotaan profesi, melainkan bukti bahwa advokat telah memenuhi syarat formal untuk menjalankan profesinya.
Keputusan untuk “membekukan” BAS menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah dalam ketentuan hukum terdapat kewenangan Ketua Pengadilan Tinggi untuk membekukan BAS?
Pasal 2 ayat 2 UU Advokat menyatakan bahwa pengangkatan advokat dilakukan oleh organisasi advokat. Lembaga yang berwenang mengangkat advokat adalah Organisasi Advokat tempat advokat bernaung.
Pasal 4 UU Advokat menegaskan bahwa sumpah advokat adalah kewajiban administratif yang diselenggarakan oleh pengadilan tinggi, tetapi tidak memberikan kewenangan lebih lanjut kepada pengadilan tinggi untuk mencabut atau membekukan status advokat.
Pasal 32 ayat (3) UU Advokat menyatakan bahwa satu-satunya pihak yang berwenang mencabut hak advokat adalah organisasi advokat melalui Dewan Kehormatan.
Dengan demikian, pembekuan BAS tanpa dasar hukum yang jelas dapat dianggap sebagai tindakan di luar kewenangan (ultra vires).
Beberapa pihak berpendapat bahwa dasar hukum pembekuan BAS dapat ditemukan pada bagian “Menimbang” dan “Mengingat” dalam keputusan pengadilan tinggi. Namun, secara kaidah hukum, bagian “Menimbang” dan “Mengingat” hanya memuat pertimbangan filosofis, sosiologis, atau yuridis yang mendasari keputusan, bukan menjadi landasan kewenangan dan tidak ada satupun pasal dalam semua aturan yang disebutkan pada bagian “Mengingat” yang mengatur tentang kewenangan Pembekuan BAS. Dalam asas hukum administrasi, kewenangan harus secara eksplisit disebutkan dalam bagian “Mengingat” yang merujuk pada pasal perundang-undangan, sehingga hal ini patut dikritisi.
Untuk menjelaskan fungsi dan maksud dari Surat Keputusan dengan Berita Acara kita harus mengkaji tentang struktur dari masing-masing surat. Perbedaan antara Surat Keputusan dan Berita Acara berada pada struktur surat. Surat Keputusan adalah sebuah surat yang berisi suatu keputusan yang dibuat oleh pimpinan organisasi berkaitan dengan kebijakan organisasi dengan dua bagian pokok yaitu konsideran berupa landasan atau dasar hukum dari sebuah keputusan dan diktum putusan berupa isi dari putusan tersebut melalui sebuah penetapan. Sementara Berita Acara merupakan catatan laporan terhadap suatu peristiwa atau perkara. Struktur daripada Berita Acara memuat Keterangan para pihak, objek pada suatu peristiwa, waktu peristiwa, dan tempat peristiwa terjadi. Maka, kita dapat menyimpulkan bahwa Berita Acara adalah pencatatan sebuah peristiwa bukan sebagai keputusan memuat peraturan yang dapat dicabut atau “dibekukan” karena perbuatan objek yang dicatat. Sementara, Surat keputusan adalah pernyataan tertulis dari sebuah pimpinan organisasi menjadi hukum bagi objek atau pihak yang diatur didalamnya. Sehingga, secara administratif Surat Keputusan dapat dicabut oleh organisasi yang mengeluarkan surat sementara Berita Acara memerlukan mekanisme administrasi lain untuk mencabut atau membatalkan sebuah perisitwa yang terjadi.
Sanksi terhadap Advokat oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat
Berdasarkan UU Advokat, ada beberapa tindakan yang melanggar profesi advokat antara lain: mengabaikan klien berperilaku tidak patut terhadap profesinya, berperilaku bertentangan dengan hukum, melanggar undang-undang, dan melanggar sumpah/janji advokat. Sanksi yang diterima oleh advokat juga telah diatur apabila melakukan pelanggaran yaitu: teguran lisan/tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap profesinya. Keputusan terhadap sanksi tersebut hanya dapat dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tempat Advokat tersebut bernaung. Bukan wewenang pejabat, instansi, atau pihak yang berlawanan dengan advokat.
Mekanisme terhadap penjatuhan sanksi tersebut diatur dalam Kode Etik Advokat Organisasi Advokat tempat advokat tersebut bernaung melalui pengaduan, pemeriksaan berkas, persidangan Majelis Kehormatan, selanjutnya penjatuhan sanksi. Maka, pernyataan Mahkamah Agung untuk membekukan Berita Acara Sumpah dari Razman dan Firdaus tidak berdasar.
Perspektif Kesejajaran Pilar Penegak Hukum: Advokat, Hakim, Jaksa, dan Polisi
Sebagai empat pilar penegak hukum (Catur Wangsa), posisi advokat, hakim, jaksa, dan polisi adalah sejajar dan memiliki kewenangan yang saling menghormati. Masing-masing memiliki mekanisme pengawasan internal. Hakim diawasi oleh Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA). Jaksa diawasi oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) dan Komisi Kejaksaan. Polisi diawasi oleh Divisi Propam dan Kompolnas. Advokat diawasi oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat (OA).
Jika pengadilan tinggi dapat membekukan status advokat melalui pembekuan BAS, hal ini dapat membuka preseden buruk terhadap independensi advokat. Advokat berfungsi sebagai pembela hak masyarakat. Jika status profesinya dapat dicabut sepihak oleh institusi lain tanpa proses etik di Dewan Kehormatan, maka advokat berpotensi mengalami tekanan yang menggerus keberaniannya membela kepentingan hukum klien. Selain itu, hal ini memicu potensi konflik antarlembaga, pilar penegak hukum yang seharusnya sejajar menjadi tumpang tindih kewenangannya.
Dalam melaksanakan fungsinya, para penegak hukum lumrah untuk saling bersengketa dan berbeda pendapat. Para penegak hukum juga memiliki aturan internal pada masing-masing lembaga sebagai batasan dalam berprofesi. Apabila ditemukan sebuah pelanggaran kode etik profesi, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengadukan pada pengawas atau lembaga yang ditunjuk memberikan sanksi dan mengawasi para penegak hukum. Jika terdapat perbuatan pidana, silahkan digugat di pengadilan atas perbuatan oknum penegak hukum tersebut.
Apakah Ini Ancaman bagi Masa Depan Profesi Advokat?
Perdebatan ini bukan sekadar soal dua advokat yang sedang menghadapi masalah hukum, melainkan soal masa depan independensi profesi advokat. Jika pengadilan dapat mencabut hak profesi advokat di luar jalur Dewan Kehormatan, maka akan terjadi ketidakpastian hukum bagi advokat, muncul risiko kriminalisasi profesi advokat, serta independensi profesi advokat terancam, yang pada akhirnya dapat merusak fungsi advokat sebagai officium nobile.
Perbuatan Contempt of Court atau perbuatan menghina pengadilan yang digugat oleh Mahkamah Agung terhadap Razman dan Firdaus adalah perbuatan yang memuat sanksi pidana bukan administratif pencabutan atau sesuai dengan diksi MA yakni “pembekuan”. Maka mekanismenya diselesaikan oleh pengadilan, bukan pembekuan Berita Acara Sumpah atau melarang Razman dan Firdaus untuk menjalankan profesi advokat di seluruh wilayah pengadilan di Indonesia.
Solusi jangka panjang untuk mencegah polemik serupa di masa depan, perlu ada reformasi pengawasan advokat yang lebih kuat dan seragam dengan pembentukan Dewan Kehormatan Advokat Nasional (DKAN) yang dibentuk secara nasional dan terlepas dari organisasi advokat manapun, namun tetap berbasis pada multibar yang mengakomodasi berbagai organisasi advokat. DKAN harus memiliki kewenangan yang kuat tetapi tetap transparan dan akuntabel.
Dengan adanya satu badan pengawas tunggal tersebut, walaupun sistem Organisasi Advokatnya multibar, pengawasan tetap terpusat pada satu badan yang independen, sehingga ketika Advokat diberhentikan melalui DKAN, ia tidak akan bisa bergabung dengan OA manapun, mirip dengan konsep penegak hukum lainnya.
Bagi saudara Razman dan Firdaus, dapat melakukan gugatan terhadap Ketua Mahkamah Agung atas Surat Penetapan pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) mereka untuk dapat diuji pada Pengadilan tata Usaha Negara untuk menerangkan fungsi dan wewenang Mahkamah Agung dalam membekukan Berita Acara Sumpah (BAS) advokat. Selain itu, secara kolektif organisasi advokat di Indonesia sepakat untuk mengajukan revisi UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengenai wewenang Dewan kehormatan Organisasi Advokat bertindak mengawasi Multibar yang saat ini terjadi di Indonesia dengan klausa tambahan untuk advokat yang dijatuhkan sanksi pemberhentian tidak dapat bergabung kepada Organisasi Advokat (OA) lain.
Kasus pembekuan BAS Rasman Arif Nasution dan Firdaus Oiwobo harus menjadi pelajaran penting bagi dunia hukum di Indonesia. Kita harus berhati-hati agar tidak merusak prinsip-prinsip dasar hukum hanya karena sentimen pribadi atau kebencian terhadap individu tertentu. Kritik terhadap advokat yang dianggap bermasalah tetap perlu, tetapi penghakiman harus melalui jalur yang benar.
Yang dipertaruhkan di sini bukanlah hanya nama dua advokat tersebut, tetapi masa depan profesi advokat dan prinsip penegakan hukum yang adil serta berkeadilan. Karena itu, penting bagi kita untuk mampu menjaga marwah profesi advokat tanpa mencederai prinsip independensi.
***
*) Opini Ditulis Oleh Eloi K.S.T, S.H.,
Pengamat Hukum & General Officer PT. Elcasindo Dwi Tama.
*) Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab Dinamika Pos.
*) Rubrik opini di Dinamika Pos terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
*) Artikel dikirim ke email @Redaksidinamikapos.com
*) Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.