Bali, DinamikaPos – Warga Desa Kedisan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, menolak keras alih fungsi hutan di kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Panelokan.

 

Mereka memprotes pembangunan kompleks wisata yang berdiri di atas lahan hutan konservasi yang terkenal dengan panorama Gunung dan Danau Batur. Pemerintah Kabupaten Bangli pun meminta agar bangunan tersebut segera dibongkar.

 

Pemerintah Bali Mengaku Lalai

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali mengakui kelalaiannya dalam pengawasan dan menyampaikan permohonan maaf.

 

Berdasarkan pendataan, kompleks wisata itu mencakup restoran berukuran 10,9×10 meter, toilet dan dapur seluas 7,4×4,8 meter, taman depan 14,3×36 meter, serta area parkir 11,7×38,7 meter.

 

Video yang beredar di media sosial menampilkan jalan baru yang mengarah ke tebing dengan pemandangan langsung ke gunung dan danau di tengah rimbunnya pepohonan.

 

Kepala BKSDA Bali, Ratna Hendratmoko, menyebut pihaknya tengah menyiapkan solusi penyelesaian melalui skema hibah. Melalui mekanisme ini, pemilik akan menghibahkan bangunan tanpa legalitas kepada negara sehingga statusnya berubah menjadi barang milik negara (BMN).

 

Setelah itu, BKSDA akan menentukan besaran sewa berdasarkan nilai kewajaran sesuai ketentuan Pasal 51 huruf d Permen LHK Nomor P.8/MENLHK/Setjen/KSA.3/3/2019.

 

Regulasi tersebut memberi hak kepada pemegang izin usaha wisata alam untuk memanfaatkan fasilitas milik negara secara legal.

 

Warga Menuntut Pemerintah Membongkar Bangunan

Namun, warga menolak opsi sewa tersebut dan menuntut pemerintah membongkar bangunan itu sepenuhnya. Mereka beralasan, kawasan itu rawan banjir sejak 1979 dan memiliki fungsi penting sebagai area resapan air dan penahan erosi.

 

Bendesa Adat Kedisan, Nyoman Lama Antara, melalui surat resmi meminta BKSDA menolak seluruh bentuk pembangunan di kawasan konservasi. Menanggapi hal itu, Hendratmoko memastikan pihaknya akan membongkar bangunan tersebut dan merestorasi kawasan yang rusak.

 

Gede Redika, Staf Ahli Bupati Bangli, mendukung langkah pembongkaran tersebut. Ia menegaskan bahwa masyarakat harus menjaga wilayah Bangli sebagai daerah konservasi agar tidak beralih fungsi. Menurutnya, kasus ini harus menjadi pelajaran bagi BKSDA Bali agar lebih ketat dalam pengawasan di masa depan.

 

TWA Panelokan merupakan bagian dari lima kawasan konservasi di bawah pengelolaan BKSDA Bali dengan total luas 6.284,36 hektar. Kawasan lainnya meliputi Cagar Alam Batukau, TWA Danau Buyan Tamblingan, Sangeh, dan Gunung Batur Bukit Payang.

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan biasanya mengatur pemanfaatan kawasan konservasi melalui dua skema izin, yaitu penyediaan jasa wisata alam (PB-PJWA) dan pengusahaan sarana jasa lingkungan wisata alam (PB-PSWA).

 

BKSDA Bali juga sedang mengevaluasi seluruh izin usaha wisata alam untuk memastikan kesesuaiannya dengan aturan konservasi.

 

Evaluasi itu meliputi peninjauan ruang lingkup kegiatan, kelengkapan administrasi, serta keselarasan dengan daya dukung lingkungan.

 

Hendratmoko menyebut, pemilik bangunan bahkan telah melakukan ritual guru piduka sebagai bentuk permohonan maaf kepada alam.

 

Popularitas kawasan Kintamani yang menawarkan panorama gunung, danau, dan geopark memang mendorong banyak pengusaha membuka kafe, hotel, hingga glamping di tebing-tebing sekitar.

 

Gedung Wisata di Kawasan Konservasi Rusak Alam Bali

Namun, maraknya pembangunan membuat daerah resapan air semakin berkurang dan meningkatkan risiko kebakaran hutan, seperti yang terjadi di TWA Gunung Batur Bukit Payang pada 2 Oktober lalu.

 

Diduga karena puntung rokok yang dibuang sembarangan, para pengunjung menyebabkan kebakaran yang melalap sekitar 9,8 hektar lahan sebelum petugas berhasil memadamkan api.

 

Kasus di TWA Panelokan menjadi peringatan penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk menjaga keseimbangan antara pengembangan pariwisata dan pelestarian lingkungan.

 

Restorasi kawasan hutan yang terlanjur rusak menjadi langkah mendesak agar keindahan alam Kintamani tetap lestari untuk generasi mendatang.